Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2015

Gazan Azka, Si Miliuner Muda

Gambar
Yang tengah itu, namanya Gazan Azka, percaya ga sih kalau di usianya yang baru 19 tahun dia sudah punya omzet mencapai 1 Miliar dari jualan keripik pisangnya? Iya, serius keripik pisang. Bukan jualan property atau kapal pesiar. Awalnya, saya pun antara percaya ga percaya dan pengin banget suatu saat bisa ketemu si Gazan ini untuk bertanya langsung serta membuktikannya sendiri. Qadarullah, Allah memberi jalan mempertemukan saya dengan anak ini melalui sebuah seminar tidak lama setelah saya "mengenalnya" melalui internet. Setelah ikut seminarnya, saya cuma bisa geleng-geleng kagum kepada adik sekaligus (yang sudah saya anggap sebagai) guru saya ini. Mindsetnya, mentalnya, joss...!! Padahal Gazan ini bukan orang mampu. Waktu dia kecil, cita-citanya saja hanya ingin membeli Chitato *pas bagian ini bingung mau ketawa atau sedih :'D Tapi akhirnya dia membuktikan, dari kegagalan-kegagalan di masa kecil dan beberapa usaha yang dia jalani sebelumnya, kini dia

Apa Hakikat Hidupmu?

Gambar
Kita mungkin memang butuh diingatkan, selalu diingatkan, bahwa hakikat hidup di dunia ini adalah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya. Lantas kenapa kita sering mengeluh ketika kita berkorban jauh lebih banyak daripada orang lain? Lantas kenapa kita mudah sakit hati ketika apa yang kita berikan lebih banyak dari apa yang kita terima? Hai, Fulan. Siapa yang kau tiru? Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam? Yang katamu uswatun hasanah? Yang kau bilang panutan terbaikmu itu? Asal kau tahu, malaikat penjaga gunung pernah meminta ijin untuk menimpakan Uhud ke salah satu kaum yang tidak mengikuti nasihat beliau, tapi beliau menolaknya. Asal kau tahu, setiap beliau pergi ke masjid, setiap kali itu pula beliau diludahi, yang entah suatu ketika si peludah yang biasa meludahinya tidak ada lantas beliau merindukannya, "Kemana perginya orang yang biasa meludahiku?" Bahkan di akhir hayatnya, beliau masih sempat mengingat

Sabar, Perbaiki Diri, dan Berpuasalah

Gambar
Syukur, seringkali gagal terucap karena diiringi oleh rasa semu yang membutakan. Misalnya, ketika kita makan. Pernah dengar istilah, "Bumbu terenak dari setiap masakan adalah rasa lapar"? Sayangnya, selalu dan selalu, konsentrasi kita terlalu banyak teralihkan kepada enak dan tidaknya rasa dari makanan itu. Padahal, seenak apapun makanan yang kita makan, kalau kita makan dalam kondisi perut yang sudah kenyang, menjadi biasa saja tuh rasanya. Bahkan besar kemungkinan tidak kita habiskan, karena perut kita sudah tidak sanggup menampungnya. Sebaliknya, sestandar apapun rasa makanan yang kita makan, sepiring itu rasanya kurang kalau kita makan dalam kondisi perut yang kosong. Lapar, menjadi sesuatu yang seringkali lupa untuk kita syukuri. Terbutakan oleh rasa dari makanan yang akan kita makan. ### Kalau itu tadi tentang makan, kondisi yang sama berlaku pula terhadap masalah kehidupan yang sedang kita lalui. Kita ini memang makhluk yang mudah lupa, ser

Bercita-cita Menjadi Seorang Sales Produk

Gambar
Panasnya kota Semarang siang ini membuat saya memutuskan untuk rehat sejenak di salah satu masjid di tepian Jalan Soekarno-Hatta. Saat sedang asik menikmati semilir angin di serambi masjid, ada seorang sales produk sebuah permen yang ikut memarkir motornya, beristirahat sebentar, lalu mengeluarkan nota-nota tagihan dan mulai menghitungnya satu per satu. Percaya atau tidak, saat kecil dulu saya pernah punya cita-cita menjadi sales produk seperti mas yang sedang duduk di samping saya ini. Sebuah pekerjaan yang bisa dikatakan "kurang layak" untuk dijadikan sebuah cita-cita. Aneh sih memang. Saya sendiri masih suka heran ketika mengingatnya. Alasannya sederhana, karena dahulu hampir semua Paman saya memiliki profesi yang sama, yaitu menjadi sales produk. Pekerjaannya mengantar produk dari satu toko ke toko lainnya, lalu menagih uang ke pemilik toko setiap akhir bulannya. Saya tahu karena saat itu sering diajak oleh Paman bekerja. Dahulu saya berpikir pekerjaan in

Makna Ukhuwah Dalam Sebuah Jama'ah

Gambar
Kemarin, saya merasa diberi kesempatan untuk belajar kembali tentang makna sebuah ukhuwah, dalam perjalanan 2 hari 2 malam yang sangat luar biasa. Berangkat dari Semarang menuju Jakarta, kami yang berjumlah kurang lebih 48 orang memutuskan untuk berangkat dalam satu rombongan besar. Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah perjalanan yang menggunakan kereta api dan tanpa kendaraan pribadi. Selama perjalanan, kami belajar untuk saling membantu dan mengingatkan dalam kebaikan dan kesabaran. Dalam setiap kesempatan, kami belajar memahami karakter kawan-kawan kami yang berlainan satu sama lain. Dan saat momen-momen tertentu, kami belajar untuk meletakkan kepentingan kawan-kawan kami jauh di atas kepentingan kami pribadi. Inilah, makna ukhuwah dalam sebuah jama'ah. Sebuah hal yang tentu akan menjadi biasa, berbeda makna, dan berbeda rasa, ketika 48 orang itu terpisah dalam kelompok-kelompok kecil. Alhamdulillah, rasa lelah yang mendera selama perjalanan terbayar lunas dengan